mother

   Yang sudah-sudah biarlah berlalu, tidak perlu lagi dipertanyakan dan dipermasalahkan. Sangat tidak pantas jika harus berlarut dalam masalah yang itu-itu saja. karena aku juga bosan, melihat bibir yang tidak henti-hentinya mencibir sesama. Semakin bosannya aku ketika yang jadi objek tertawaan mereka adalah ibuku, ya. . . ibuku sendiri. 
    Tidak perlu aku meminta kalian membayangkan betapa sakitnya hati seorang anak, ketika menyaksikan ibunya jadi bahan tertawaan. Yang bagi mereka sangat lucu, sampai-sampai mulut mereka dimandikan ludah yang bergelayutan berlomba untuk jatuh. Lalu pipi yang mulai ketat, dan gigi kuning mereka kering oleh angin. Aku tidak akan pernah mendendam. Hanya saja, aku tidak rela melihat nama ibuku menjadi wayang yang kalian mainkan dengan terlalu keras hingga satu persatu bagian dari wayang tersebut patah. 
   Itulah ketidaksanggupan ku ketika aku berada dirumah, selalu saja mendengarkan keluh kesah kalian. Tentang ibuku, tentang kekurangannya. Aku memang diam, tidak sedikitpun balik mencibir ataupun menegur. Mungkin semua kinerja organku mati, lalu telinga ku yang tersisa, sedangkan telinga tidak sedikitpun dapat mengelak apalagi membela. Aku hanya bisa mendengarkan, dan tersenyum kecil seolah tidak terjadi sesuatu apapun. Sampai aku pulang, ku lihat wajah yang tidak lagi muda itu, pipinya yang mulai longsor, kelopak matanya yang sayu menyembulkan sedikit genangan air yang jatuh menjadi butir-butir air mata.
    Sedangkan kulitnya yang dulu putih kini bak terlumuri oli yang hitam pekat menjadi permanen seolah-olah tidak mampu terkelupas lagi. Wajah manisnya, ah. . . sudah luntur. Wanita yang dulu putih bersih, dengan kecantikan yang amat sangat. Telah hilang dalam kepedihan hidup yang mendera. Merawat seorang anak tanpa pendamping bukanlah hal yang mudah, namun ia bisa. Ia bangkit dengan kegagahan seorang kesatria, menyemburkan semangat dalam keletihan. Keringat yang ia usap adalah sebagian cerita pedih yang sama sekali tidak ingin ia tularkan kepada anak-anaknya. 
    Berharaplah ia dalam hening dan sunyinya malam, diiringi tangisan yang terus membanjiri telungkup tangan. Seolah air mata itu tidak pernah habis, bukan saja malam yang bersaksi atas kepiluan nasibnya, pagi sampai senja menyingsing bak suami yang setia hidup disampingnya tanpa mati sekalipun. Dan ia mulai tidur diatas dipan tanpa kasur yang membuat empuk. Tulang-tulangnya telah terbiasa hidup keras, tidak ada protes ataupun keluhan. Merdekalah kau ibu, dalam duka yang terus mengelayuti tidurmu. Panjanglah usiamu, dan rasakan aku akan membahagiakanmu.

Komentar

Postingan Populer