letupan meriam

     Dan hatiku mulai tidak enak malam itu, dimana sang guru besar hendak membicarakan sesuatu yang menurut perasaanku sangat menegangkan. Masih didalam gedung kuliah kami, letupan rasa takut berkembang menguasai kesadaranku. Aku berbagi ketakutan ini pada teman-teman, dan katanya tidak akan terjadi apa-apa.
     Lalu aku tidak menghiraukannya lagi, letupan itu kian padat berderet-deret. Didapatinya muka ku terlipat-lipat dan terlihat sangat rancau, temanku menegur dengan nada ejekan. Sumpah, setiap berada ditengah-tengah perkuliahan ini, aku mesti tegang dan terlihat begitu tolol. Lama dan lama, aku coba lipat rapi muka konyolku dan mulai tersenyum seperti biasanya. Hingga mulai menebak-nebak apa yang akan menjadi materi malam ini. Aku membidik sebuah hipotesa, tapi senapanku rasanya kosong tanpa peluru. Ah. . . sudahlah, rasanya aku masih tenggelam dalam ketakutan yang amat overdosis.
    “kami butuh tempat tenang, bukan disini, diluar mungkin?” kata guru besar meminta. Tempat kami memang bukan disini, gedung kuliah yang telah mengganga, sarang laba-laba yang asyik bergelantungan diatas sana, dan tembok yang berhias tulisan-tulisan sejarah, porno, dan alay, lengkaplah sudah. Seluruhnya bagai bintang yang bertaburan diatas langit yang mulai mengelap.  
     Karena sebentar lagi, gedung kuliah kami ini akan roboh, taulah. . . roboh dengan sendirinya atau ada inisiatif dari orang yang prihatin dengan gedung kuliah ini. Udara mulai memasuki celah-celah baju kami, mengerayangi kulit yang tersembunyi dibelakang kain-kain ini. Dibawah lampu jalanan, dimulailah materi perkuliahan malam ini. Masih dengan letupan konyol, aku duduk dengan ragu-ragu lalu menempel juga diantara batas aspal dan tepian rumput. Dan aku memutuskan untuk tidak melanjutkan cerita ini. . .:-)

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer